Tatkala Kekuasaan Kehilangan Nurani

DAERAH, NASIONAL105 Views

http://gajayanatvnews.com – Kehilangan nurani memunculkan katastropi. Bupati Pati, Sudemo memicu situasi tersebut. Ia berucap tanpa dasar nurani, tanpa pikiran, hingga melahirkan kebijakan yang menyusahkan warga. Sudewo, menggegerkan publik dengan kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) 250 persen tanpa kajian yang memadai dan minusnya partisipasi publik.

Sudewo memicu konflik dengan pernyataan provokatif: “5.000 silakan, 50.000 massa silakan, saya tidak gentar”. Ia menantang, dan warga meresponsnya dengan perlawanan. Tibalah katastropi itu dalam wujud demonstransi besar 13 Agustus 2025. Dalam eskalasi, dilaporkan pasca-demo terjadi korban: sejumlah warga meninggal, dan ketika ditanya, Sudewo menyampaikan bahwa kematian tersebut adalah “takdir”. Lontaran kata tanpa nurani!

Ia, akhirnya mencabut kebijakan kenaikan pajak dan menyampaikan permintaan maaf, termasuk atas pernyataan “menantang rakyat” tersebut. Namun protes terus berlangsung, massa tetap menagih tanggung jawab dari kepemimpinan yang menurut mereka arogan dan tidak inklusif. Warga menuntut bupati mundur, lewat jalur tuntutan langsung via unjuk rasa dan melalui DPRD Pati dengan Hak Angket.

Duduk Perkara

Dari situasi di atas, ada dua duduk perkara, pertama, tantangan bupati kepada warga untuk berdemo meski pajak naik drastis. Secara etis, tindakan ini bermasalah karena: mengeksploitasi ketidakberdayaan: warga diposisikan sebagai “target provokasi” tanpa dialog substantif. mereduksi aspirasi rakyat ke ekspresi agresif, bukan bagian dari praktik demokrasi deliberatif.

Kedua, ia menganggap kematian pasca-demo sebagai “takdir”. Ini adalah pernyataan yang: menghilangkan tanggung jawab moral: respon semacam ini menghadirkan jarak antara pejabat publik dan akibat kebijakan yang mungkin mematikan. Selain itu, ia menafikan nilai kesejahteraan sosial yang mestinya melekat pada jabatan publik, termasuk kewajiban untuk memitigasi risiko dan melindungi warga. Situasi inilah, cermin tatkala pejabat kehilangan nurani.

Kedua duduk perkara itu memusatkan perhatikan kita (sebagai pembaca) bahwa ada situasi nir-etis yang menghinggapi pejabat publik. Situasi nir-etis tersebut dikarenakan karena ketidakmampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional pada kebijakan. Bupati Pati, dalam kasus ini, mestinya memikirkan secara konseptual, mempertimbangkan dampak kebijakan yang dibuatnya. Untuk itu, perlu ada relasi dan partisipasi antara pejabat dan warga. Dari sini, alur yang bisa dimengerti yaitu, rasionalitas mendahului kebijakan praktis.

Bayang-Bayang Politik Know-Nothing

Kebijakan praktis dalam konteks ini lebih menjangkarkan tindakan manusia yang ada dalam paradigma After Virtue dari seorang filsuf Skotlandia-Amerika, Alasdair MacIntyre. Ia menuliskan bahwa tindakan manusia mencakup dua hal, yaitu tindakan internal (goods internal) dan tindakan eksternal (goods external).  Goods internal, tulis MacIntyre, adalah praktik politik dan pelayanan publik mencakup: kepercayaan publik, legitimasi keputusan, dan keadilan. Sedangkan, goods eksternal adalah kuasa, jabatan, pendapatan, atau keamanan reputasi.

Tindakan Bupati yang menantang untuk melakukan demonstransi menunjukkan prioritas pada goods eksternal. Ia mempertahankan kekuasaannya, bahkan menantang rakyat. Hal ini merusak goods internal: dialog, legitimasi bersama, dan rasa keadilan. Selanjutnya, saat kematian muncul pasca-demo, respon “itu takdir” memperbesar kesenjangan: keselamatan warga bukan hal yang dilindungi sebagai goods internal dalam praktik pemerintahan. Tanggung jawab moral diabaikan demi pragmatisme jabatan.

MacIntyre menggambarkan masyarakat modern sebagai arena di mana bahasa moral telah kehilangan landasan bersama, menyerupai ilmu yang hanya tinggal fragmen. Ia menulis demikian,

“Bayangkan jika ilmu pengetahuan alam menderita akibat bencana. Serangkaian bencana lingkungan disalahkan oleh masyarakat umum kepada para ilmuwan. Kerusuhan meluas terjadi, laboratorium dibakar, fisikawan digantung, buku dan instrumen dihancurkan. Akhirnya, gerakan politik Know-Nothing mengambil alih kekuasaan dan berhasil menghapuskan pengajaran sains di sekolah dan universitas, memenjarakan dan mengeksekusi ilmuwan yang tersisa.”

Dalam alegori MacIntyre, gerakan politik Know-Nothing membongkar laboratorium, menghapus pengajaran sains, dan menyingkirkan ilmuwan, bukan karena sains benar-benar gagal, tetapi karena ketidaksukaan dan ketidakpercayaan publik diarahkan pada simbol pengetahuan itu sendiri. Akibatnya, yang tersisa hanyalah fragmen pengetahuan yang terlepas dari konteks dan tujuan aslinya.

Jika kita tarik ke konteks Bupati Pati: pertama, kebijakan kontroversial seperti kenaikan PBB-P2 hingga 250 %, pemecatan honorer tanpa pesangon, atau proyek-proyek mercusuar tanpa kajian publik, bisa dipandang sebagai bentuk pengambilan keputusan yang terlepas dari “tradisi pengetahuan” pemerintahan yang baik: konsultasi publik, analisis kebijakan, prinsip proporsionalitas. Kedua, Ketika kebijakan dibuat tanpa mengindahkan telos pemerintahan yakni kesejahteraan dan keadilan, ia menjadi fragmen kebijakan: terlihat seperti “nama-nama” pembangunan, tetapi kehilangan makna fungsionalnya bagi warga. Ketiga, pernyataan Bupati yang menantang warga untuk mendemo (5.000 atau 50.000 orang silakan) mencerminkan politik emotif, bukan dialog rasional. Ini sejalan dengan diagnosis MacIntyre bahwa emotivisme membuat perbedaan pendapat diselesaikan lewat adu kekuatan, bukan perdebatan rasional yang berlandaskan kebajikan.

Virtues sebagai Benteng Katastropi

MacIntyre mengingatkan: tanpa rasionalitas yang tertanam dalam tradisi, kebajikan tidak bisa bertahan. Bagi pejabat publik, virtue berarti: kebijakan yang berpijak pada analisis berbasis bukti, dialog substantif dengan warga dan menjaga kesinambungan nilai publik. Jika prinsip ini diabaikan, maka berisiko masuk ke “katastrofi moral” dalam konteks pemerintahan: kepercayaan publik hancur, bahasa moral pemerintahan (keadilan, kesejahteraan, transparansi) menjadi sekadar jargon, dan kebijakan berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan sarana mencapai kebaikan bersama.

Dalam narasi MacIntyre, kita tengah hidup di zaman moral yang porak-poranda. Sebuah dark age kontemporer disebabkan hilangnya nurani dan nilai bersama. Menurut MacIntyre, moral modern terjebak dalam emotivism, nilai-nilai direduksi menjadi ekspresi preferensi individual, bukan dasar normatif yang dibagi bersama. Begitu pun Bupati Sudewo nampaknya mengedepankan preferensi individu, terlihat dari pernyataannya yang seolah menantang massa untuk demo, tanpa dialog substantif. Ini mencerminkan ketidakmampuan merespons dengan berdasarkan norma kolektif dan tujuan bersama (telos). Bupati Pati menjadi Leviathan emotivis-otokratis.

MacIntyre mendorong agar virtues atau keutamaan nurani dikembalikan ke dalam telos (tujuan bersama) yang memberi makna, serta praktik, tradisi, dan narasi yang kohesif. Di Pati, ketidakhadiran konsultasi publik dalam kebijakan seperti kenaikan pajak dan pengambilan keputusan seemingly top-down menunjukkan ketiadaan telos lokal: yaitu keadilan, kesejahteraan komunitas, dan partisipasi. Narasi lokal tentang keadilan sosial dan keterlibatan warga rusak akibat gaya birokrasi yang tumpul.

MacIntyre menyoroti pentingnya tradisi moral sebagai argumen panjang yang terus-menerus didebatkan dan diperbaiki. Kehadiran virtues seperti keadilan, kesetiaan komunitas, dan integritas menjadi urgen bagi para pejabat. Keadilan, yang dimaksud lebih untuk memprioritaskan keadilan: transparansi keputusan pajak, proses deliberatif, dan redistribusi dampak, serta dialog inklusif. Nilai kesetiaan terhadap komitmen komunitas mengarah pada sikap sebagai bagian dari narasi komunitas, dengan berkomitmen terhadap kesejahteraan bersama dengan menanamkan kepercayaan publik. Integritas yang dimaksud ada dalam tindakan publik dan privat, yang mengedepankan keadilan, transparansi, dan rasa hormat terhadap warga. Indikasi jernih dari integritas, yaitu ia yang mampu menyatukan jabatan dengan tanggung jawab moral.

Akhirnya, tulisan ini mengedepankan pentingnya nurani sebagai kualitas diri manusia. Kualitas manusia, demikian tulis MacIntyre, adalah keutamaan. Jika moralitas administrasi modern hanyalah fragmen emosi, maka baik pemimpin maupun warga semestinya bersama-sama merintis praktik politik yang bermakna. Tindakan bukan hanya soal efisiensi, tetapi tentang mengedepankan nurani dan kebaikan bersama yang terpadu dalam moral kewargaan. Bagi yang tidak memiliki keutamaan, ia sebaiknya menanggalkan jabatannya.

Ditulis oleh : Andri Fransiskus Gultom, Akademisi dan Pendiri Institut Filsafat Pancasila 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *