Kalau AI Punya Skor CV, Manusia Masih Bisa Menang di Etika dan Naluri

http://gajayanatvnews.com – Di dunia kerja modern, terutama di bidang keamanan siber, ada satu pertanyaan yang makin sering muncul “Apakah AI akan menggantikan saya?” Pertanyaan ini wajar, apalagi ketika headline berita penuh dengan narasi suram, perusahaan teknologi raksasa melakukan PHK massal, AI katanya bisa melakukan pekerjaan analis, dan semua orang mendadak merasa sedang duduk di kursi panas. Tapi seperti biasa, realitas tidak pernah sesederhana kalimat di Twitter.

Dalam video berdurasi 14 menit dari channel TechButMakeItReal, Dr. Gerald Auger membongkar ilusi bahwa AI akan menggantikan semua peran di dunia cybersecurity. Justru sebaliknya, kata dia, AI saat ini lebih banyak membantu pekerjaan yang membosankan, menghapus alert palsu, mendokumentasikan insiden, atau sekadar mempercepat respon terhadap IP mencurigakan. Sementara pekerjaan yang butuh intuisi, empati, dan kemampuan membaca konteks, semuanya tetap jadi ranah manusia.

Pekerjaan di dunia keamanan siber bukan sekadar adu cepat membaca log. Ini adalah arena pengambilan keputusan dalam kondisi ambigu. Dan AI, secerdas apapun algoritmanya, belum punya rasa takut, belum bisa menimbang etika, dan belum kenal istilah “pembelaan manusiawi”. Kalau dunia ini memang sedang berubah, maka kita harus menyesuaikan diri. Tapi jangan buru-buru menganggap diri sudah kalah karena yang menang di era baru ini bukan hanya yang paling pintar, tapi yang paling bisa membaca arah perubahan.

Mesin tidak pernah ngantuk, tidak pernah sakit, dan tidak pernah skip log karena ketinggalan buka tiket. Karena itu, AI sangat cocok untuk tugas-tugas yang repetitif dan jujur saja… sering bikin pusing kalau dikerjain manual. Dr. Auger menyebut bahwa AI sekarang banyak digunakan buat triage alert, menghapus notifikasi yang tidak penting, merespons otomatis terhadap serangan kecil, hingga mendokumentasikan insiden tanpa satu pun manusia perlu mengetik laporan. Bagus? Tentu, tapi ini juga membuat banyak orang salah paham, mengira semua kerjaan analis akan lenyap dalam satu update model.

Padahal, pekerjaan analis tidak berhenti di “klik tombol block”. Dalam investigasi nyata, kadang kita harus baca pola serangan yang absurd, menganalisis log selama berhari-hari, sampai memutuskan apakah sistem boleh tetap hidup atau langsung diisolasi. Ini bukan pekerjaan yang bisa didelegasikan ke algoritma. Bahkan model sekuat LLM pun tidak akan tahu bahwa ada sesuatu yang terlalu tenang untuk dianggap aman. AI tidak bisa merasakan firasat, dan tidak bisa bilang “kayaknya ada yang aneh” karena ia hanya tahu apa yang statistiknya umum, bukan apa yang statistiknya janggal.

Jadi ketika perusahaan mulai bilang, “Kita akan pakai AI buat bantu tim keamanan,” sebenarnya artinya adalah “Akhirnya kita bisa bersihin semua noise biar manusianya fokus ke hal yang penting.” Yang kena bukan engineer yang bisa code exploit, tapi mungkin analyst yang dari tadi hanya copas alert ke spreadsheet. Dunia ini memang keras. Tapi justru di sinilah pembeda antara manusia dengan mesin, AI bisa punya kecepatan, tapi manusia punya kepekaan. Dan dalam dunia yang penuh anomali, kepekaan itu lebih mahal daripada RAM.

Lalu muncul satu pertanyaan lanjutan, kalau AI memang efisien, lalu kenapa tetap ada serangan besar yang lolos? Karena serangan bukan hanya urusan teknis, tapi juga urusan kecerdikan. Banyak threat actor sekarang justru pakai AI untuk menciptakan serangan yang lebih halus, lebih personal, bahkan lebih meyakinkan. Mereka eksploitasi kebiasaan, bukan hanya celah sistem. Mereka tahu, tidak semua yang kelihatan aman itu benar-benar aman, dan tidak semua yang lolos dari filter AI berarti tidak berbahaya.

AI tidak bisa mengenali sinyal-sinyal kecil yang manusia anggap janggal, perubahan pola jam akses, IP yang sedikit melenceng dari subnet biasa, atau gaya bahasa dalam email yang sedikit terlalu sopan. Bagi model statistik, semua itu bukan anomali tapi bagi manusia yang sudah makan asam garam shift malam, itulah alarm merah sesungguhnya. Inilah yang sering luput dari debat soal “AI akan menggantikan manusia”, bahwa deteksi tidak selalu tentang akurasi, tapi juga tentang intuisi yang dibentuk dari pengalaman dan rasa curiga yang sehat.

Karena itu, mungkin pertanyaan kita selama ini kurang tepat. Bukan “apakah AI akan menggantikan pekerjaan kita?”, tapi “apakah kita siap bekerja bersama AI dengan peran baru?” Dunia cybersecurity sedang bergeser. Bukan lagi tentang siapa yang hafal RFC lebih banyak, tapi siapa yang bisa mengarahkan mesin, membaca pola, dan mengambil keputusan di saat yang tidak jelas. Kalau hari ini AI bisa menulis kode exploit, maka hari esok membutuhkan orang yang bisa membaca niat dibaliknya dan itu bukan pekerjaan mesin. Itu pekerjaan manusia.

Di masa depan, CV kita mungkin akan dibandingkan dengan benchmark AI. Tapi sejauh apapun model dilatih, tidak ada prompt yang bisa sepenuhnya meniru naluri manusia yang belajar dari kegagalan, pengalaman, dan insting bertahan. Dunia siber bukan cuma soal seberapa cepat kamu menulis kode, tapi seberapa tajam kamu membaca situasi. Dan selama itu masih relevan, manusia tetap akan punya tempat, bukan karena kita lebih canggih dari AI, tapi karena kita lebih sadar akan konsekuensi. Di antara data, log, dan probabilitas, manusia tetap jadi satu-satunya entitas yang bisa bilang, “Tunggu, ini ada yang nggak beres.”

(Yohanes Capelliou Samudra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *