http://gajayanatvnews.com – Pernahkah kamu merasa bahwa internet yang kita pakai sehari-hari, sebenarnya bukan sepenuhnya milik kita? Kita bisa menulis, berbagi, menyimpan sesuatu tapi semua itu terjadi di platform yang aturannya tidak bisa kita ubah. Email, media sosial, bahkan tempat kita menyimpan file semuanya disediakan oleh layanan yang bisa memutuskan kapan kita diizinkan masuk, dan kapan tidak. Kadang terasa aman. Tapi kadang juga terasa dibatasi.
Beberapa waktu lalu, saya mulai membaca tulisan-tulisan tentang Web3. Sebuah gagasan tentang internet yang lebih terbuka, lebih bebas, dan katanya, lebih adil. Salah satu jurnal yang saya temui menyebut Web3 hanya mitos. Katanya, desentralisasi itu cuma ilusi di permukaan, dan sistemnya tetap dikendalikan oleh segelintir orang yang lebih dulu paham. Tapi di sisi lain, halaman resmi Ethereum menggambarkannya sebagai masa depan yang penuh harapan, tempat pengguna bisa benar-benar memiliki data, identitas, dan ruang digitalnya sendiri.
Entah ya. Saya masih belum tahu. Apakah Web3 benar-benar masa depan yang kita cari, atau cuma pelarian dari sistem yang udah terlalu mapan? Tulisan ini bukan buat memberi jawaban. Saya cuma mau mengajak kita mikir bareng. Soal kenapa kita selalu ingin bebas dan soal apa yang sebenarnya kita cari dari kebebasan itu sendiri.
Internet tidak lahir langsung seperti sekarang. Dulu, di masa yang sekarang disebut Web1, kita cuma bisa membaca. Website itu seperti papan pengumuman dan tidak bisa dibalas, tidak bisa diubah, dan tidak ada yang peduli siapa yang baca. Lalu muncul Web2, tempat semua orang bisa ikut bicara. Media sosial, kolom komentar, unggah foto, semua orang bisa bikin konten. Tapi ternyata, meski kita bisa berbicara lebih banyak, kendali tetap bukan di tangan kita. Semua dibungkus dalam platform besar. Dan diam-diam, mereka yang mengatur ritme.
Lalu datang Web3, katanya ingin mengembalikan kendali ke pengguna. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal siapa yang punya rumah di dunia digital. Kalau Web2 itu seperti tinggal di apartemen milik perusahaan, Web3 mengajak kita bangun rumah sendiri. Rumah yang aturannya kita buat, datanya kita pegang, dan aksesnya tidak bisa dicabut begitu saja. Kedengarannya ideal. Tapi di balik semua janji itu, saya merasa ada satu hal yang belum beres, apakah semua orang bisa benar-benar punya tanah digitalnya sendiri?
Karena Web3, sejauh yang saya lihat, muncul bukan cuma dari inovasi tapi dari keresahan. Orang-orang mulai sadar bahwa data mereka dijual, bahwa akun bisa dihapus sepihak, dan bahwa kita hidup di sistem yang terlalu tergantung pada bos besar. Mungkin Web3 bukan jawaban utuh, tapi reaksi atas sesuatu yang udah terlalu lama diam. Dan mungkin, sebagian dari kita cuma ingin merasa punya kendali, meskipun belum tahu bagaimana cara menggunakannya.
(Yohanes Capelliou Samudra)