http://gajayanatvnews.com – Dulu, belajar programming adalah jalan menuju pekerjaan bergengsi. Bisa bikin aplikasi, paham bahasa mesin, atau sekadar menyulap terminal jadi proyek nyata adalah tiket emas menuju dunia kerja digital. Tapi hari ini, seorang pelajar bisa menulis satu prompt di AI dan langsung menghasilkan ratusan baris kode. “Buatkan saya aplikasi kencan seperti Tinder” dan dalam beberapa detik, sistem menampilkan UI, backend, bahkan saran deployment. Kalau begitu, kenapa masih ada yang mau belajar software engineering?
Pertanyaan ini muncul bukan hanya di pikiran siswa, tapi juga di ruang kelas dan industri. Dalam TEDx Talk-nya, Raymond Fu profesor teknik sekaligus sekaligus sosok ayah yang mengajukan refleksi penting, jika AI bisa melakukan semua tugas teknis, apa gunanya manusia belajar membuat kode? Apakah masa depan programmer tinggal menghitung waktu sebelum diganti model terbaru? Atau justru ada pergeseran makna tentang siapa itu engineer sesungguhnya?
Fu tidak menawarkan jawaban instan. Tapi ia membuka pintu refleksi: menjadi engineer bukan tentang kecepatan mengetik kode, tapi tentang kemampuan memahami masalah, membentuk pertanyaan, dan merancang solusi yang relevan dengan dunia nyata. Kode hanyalah alat. Dan seperti halnya palu atau gergaji, alat tidak pernah menggantikan arsitek. Justru di sinilah letak tantangannya, ketika semua orang bisa membangun sesuatu, siapa yang bisa menentukan arah yang layak dibangun?
AI bisa menghasilkan solusi, tapi tidak selalu memahami masalah. Ia tidak pernah merasakan frustrasi pengguna saat tombol gagal diklik, atau menyadari bahwa sebuah fitur tidak dibutuhkan karena… ya, tidak ada yang pernah minta itu. AI bekerja berdasarkan pola statistik dari data besar yang dikumpulkan, dilatih, dan diproses. Tapi hidup nyata penuh noise. Masalah yang dihadapi manusia tidak selalu punya pola yang jelas. Engineer hadir bukan hanya untuk menulis jawaban, tapi untuk merumuskan ulang pertanyaan.
Raymond Fu menyebut bahwa di masa depan, software engineer akan dinilai bukan dari seberapa cepat mereka bisa menulis kode, melainkan seberapa baik mereka bisa menyederhanakan masalah. Ini poin penting. Dalam dunia yang makin kompleks, dibanjiri tools, library, dan framework baru tiap minggu, kemampuan menyederhanakan jadi keahlian langka. Engineer masa depan bukan lagi tukang bangun sistem besar, tapi penata sistem yang efisien, relevan, dan bertahan lama. Bukan lagi soal memamerkan kemampuan teknikal, tapi soal membuat teknologi terasa manusiawi.
Di titik ini, engineer menjadi semacam jembatan antara dunia abstrak mesin dan dunia konkret manusia. Ia paham apa yang dibutuhkan pengguna, tahu batas kemampuan AI, dan bisa menyatukan keduanya tanpa kehilangan nilai etis. Bukan berarti engineer harus anti AI, justru sebaliknya engineer harus bisa memanfaatkan AI dengan cerdas, tapi tetap tahu kapan harus bilang, “Stop, ini sebaiknya disederhanakan,” atau “Fitur ini tidak perlu, cukup begini saja.” Dan kalimat-kalimat seperti itu, sejauh ini, masih belum bisa diciptakan oleh model besar mana pun.
Karena itu, belajar software engineering di era AI bukan lagi soal “bagaimana cara menulis kode”, melainkan “apa yang pantas untuk dikodekan.” Kita tidak butuh lebih banyak orang yang bisa meniru sistem lama dengan wajah baru. Kita butuh pemikir yang mampu melihat masalah dari sisi manusia, lalu merancang solusi yang tidak hanya bisa dijalankan, tapi juga bisa dipertanggungjawabkan. Karena semakin besar kekuatan AI, semakin penting pula siapa yang memegang arah kompasnya.
Engineer masa depan akan lebih mirip kurator daripada tukang coding. Mereka harus memilih, memilah, menghapus, menyederhanakan. Mereka harus tahu bahwa tidak semua yang bisa dibuat harus dibuat. Dan mereka harus berani berkata, “AI ini terlalu overkill untuk masalah sesederhana ini.” Di situlah muncul nilai. Di situlah muncul arah. Dan arah adalah sesuatu yang tidak bisa di-generate.
Mereka yang hanya terpukau pada kehebatan model besar akan dengan mudah tergantikan oleh model berikutnya. Tapi mereka yang mengerti bagaimana teknologi menyatu dengan kebutuhan manusia akan tetap dibutuhkan, bahkan ketika dunia berubah bentuk. Engineer bukan hanya masalah skill, tapi juga posisi batin. Ia bukan yang tercepat dalam mengetik, tapi yang paling tenang dalam berpikir.
Menjadi software engineer hari ini bukan tentang melawan AI, tapi tumbuh bersamanya. Kita bukan sedang berkompetisi dengan mesin, tapi sedang menata ulang identitas kita sebagai manusia yang berkarya di dalam sistem digital. Dunia butuh lebih banyak orang yang tahu kapan harus memercayai mesin, dan kapan harus mempertanyakan hasilnya. Dunia tidak kekurangan kode, tapi kekurangan keberanian untuk mengatakan “Ini tidak manusiawi, dan kita bisa buat lebih baik.”
Jadi jika kamu masih bertanya, “Apakah belajar software engineering masih penting di zaman AI?” Maka jawabannya adalah ya, justru sekarang saatnya. Belajar bukan hanya demi bisa coding, tapi demi jadi orang yang bisa mengambil keputusan di antara ribuan baris kode. Di masa depan, mungkin semua orang bisa menulis program. Tapi hanya sedikit yang tahu apa arti dari program itu. Dan yang sedikit itulah, yang akan memimpin dunia.
(Yohanes Capelliou Samudra)