AI Makin Pintar, Tapi Detektornya Bingung: Perspektif Shofi Yulloh, Anak Machine Learning

http://gajayanatvnews.com – Halo, kembali lagi di topik yang sempat bikin saya iseng tapi jadi serius: AI detector, tulisan manusia, dan kenapa alat yang katanya canggih bisa salah tuduh. Kalau kamu belum baca bagian pertamanya, kamu bisa cek dulu di sini https://www.gajayanatvnews.com/ai-detector-katanya-hebat-tapi-setelah-saya-tes-sendiri-begini-penjelasannya/

Di situ saya cerita tentang eksperimen kecil-kecilan ngetes GPTZero, Originality.ai, dan Justdone hasilnya absurd, lucu, dan jujur bikin mikir. Tapi ternyata, pertanyaan yang paling penting belum sempat saya jawab: “Kalau AI bisa makin mirip manusia, apa iya tulisan kita masih ada harganya?”

Untuk menjawab itu, saya ajak ngobrol teman saya, Shofi Yulloh, anak SMK juga, tapi sudah belajar machine learning dan dunia AI sejak lama. Dia bukan penulis, bukan jurnalis, tapi justru itu yang bikin obrolannya menarik. Shofi melihat AI bukan sebagai musuh, tapi sebagai sistem yang perlu dipahami cara kerjanya. Katanya, “AI detector itu cuma alat bantu, bukan hakim.” Ia menjelaskan konsep perplexity dan burstiness, dua metrik yang biasa dipakai alat seperti GPTZero untuk menilai “kehumanan” tulisan. Tapi menurut dia, metrik itu tidak cukup. “Kalau tulisan kamu rapi banget, justru bisa dibilang AI. Padahal kamu nulis sendiri, pakai hati.”

Shofi tidak membenci AI. Bahkan sebaliknya, dia merasa AI itu justru bisa bantu kita belajar lebih cepat asal digunakan dengan benar. “Kalau kamu pakai AI cuma buat copy-paste, ya kamu bakal mentok di situ-situ aja,” katanya. Tapi kalau kamu pakai buat bantu mikir, eksplorasi ide, atau mempercepat proses belajar, itu namanya adaptasi. Ini yang dia maksud dengan revolusi: bukan soal menggantikan manusia, tapi memperkuat kemampuan manusia buat bertahan di dunia yang terus berubah.

Shofi juga sempat menyinggung soal orang-orang yang terlalu cepat menghakimi, seperti dosen atau guru yang langsung curiga begitu melihat tulisan rapi. “Ini kamu pakai ChatGPT, ya?” Padahal belum tentu. Menurut Shofi, masalahnya bukan di AI-nya, tapi di kita yang belum siap beradaptasi. Ia menyamakan ini dengan masa-masa awal kemunculan email atau WhatsApp. “Dulu juga banyak yang bilang email itu merusak cara komunikasi. Tapi sekarang semua dosen ngirim tugas lewat email,” ujarnya sambil tertawa kecil. Menurutnya, AI hanyalah gelombang baru yang sedang menunggu untuk dipahami, bukan ditolak mentah-mentah.

Yang menarik dari Shofi adalah cara dia memosisikan AI sebagai “asisten yang paham kerjaan kita”. Kalau kamu bukan jurnalis, lalu minta AI nulis berita, hasilnya pasti ngawur. Tapi kalau kamu memang tahu cara nulis, kamu bisa pakai AI buat brainstorming, outline, bahkan cari referensi dengan lebih cepat. “AI itu bukan buat gantiin otak kamu,” katanya. “Dia bantu kamu ambil keputusan. Jadi alat bantu berpikir, bukan alat bantu nyontek.” Ini mengingatkan saya pada pengalaman sendiri saat nulis artikel kadang saya pakai AI bukan untuk minta jawaban, tapi untuk diajak diskusi sebelum saya nulis dari sudut pandang saya sendiri.

Dalam diskusi itu, kami juga menyentuh soal profesi yang katanya “aman” dari AI, seperti guru dan jurnalis. Menurut Shofi, aman atau tidak bukan soal profesinya, tapi soal karakter. Guru bukan hanya penyampai materi, tapi pembentuk karakter dan etika. Hal yang, sejauh ini, AI belum bisa gantikan. “Sekolah itu bukan bikin kamu pintar, tapi ngajarin kamu bersikap,” katanya tegas. Begitu juga dengan penulis, bukan soal seberapa cepat nulis, tapi apakah tulisannya punya rasa, refleksi, dan niat yang hidup. Bagi Shofi, selama manusia masih bisa merenung dan bermimpi, tulisan manusia akan tetap punya tempatnya.

Berangkat dari situ, kami sempat membahas pernyataan banyak orang yang bilang, “AI akan mengambil pekerjaanmu. Shofi menanggapinya dengan tenang, “Iya, bisa jadi. Tapi yang diambil itu bukan pekerjaannya, melainkan pola kerjanya yang bisa diotomatisasi.” Ia memberi contoh profesi seperti customer service atau bahkan beberapa bidang penulisan teknis yang sudah mulai digantikan dengan template dan AI writer. Tapi untuk pekerjaan yang membutuhkan empati, pengambilan keputusan kompleks, dan nilai-nilai manusiawi AI masih sangat jauh. “Bukan berarti gak bisa, tapi belum,” katanya.

Menurut Shofi, saat AI berkembang, manusia justru harus mengembangkan diri lebih cepat. “Kalau kamu bisa mikir, bisa nulis dengan rasa, bisa bikin keputusan yang bijak, kamu justru gak akan diganti. Kamu akan jadi pengendali AI itu,” tegasnya. Ia bahkan menyamakan AI dengan drone security di Amerika yang harus diajari dulu mengenali bentuk rumah sebelum bisa berpatroli sendiri. Artinya, AI butuh training dari manusia dan itu justru peluang. Kita yang paham cara kerja dan konteksnya, akan tetap dibutuhkan. Bahkan lebih dari sebelumnya.

Yang paling menyentuh, Shofi mengajak untuk melihat AI sebagai asisten, bukan musuh. “Kalau kamu bukan penulis, terus maksa AI nulis berita, ya ngawur hasilnya. Tapi kalau kamu penulis, dan kamu tahu apa yang kamu mau, AI bisa bantu kamu mikir, nyari sumber, atau ngecek logika tulisanmu.” Menurutnya, kekuatan manusia bukan pada seberapa cepat ia bekerja, tapi seberapa dalam ia memahami. Dan AI, seperti asisten yang baik, hanya akan sekuat tuannya.

Akhirnya saya sadar, bahwa pertanyaan soal “apakah tulisan manusia masih punya nilai” bukan pertanyaan teknis. Ini pertanyaan eksistensial. Kita sedang hidup di era di mana kecepatan jadi norma, dan kesempurnaan visual jadi standar. Tapi di balik itu, manusia masih butuh merasa dimengerti, disentuh lewat kata, dan diajak berpikir. Tulisan yang jujur, reflektif, dan lahir dari pengalaman masih punya tempat, bahkan di tengah hiruk-pikuk prompt dan template.

Dan kalau hari ini kamu merasa takut, ragu, atau malah down karena tulisannya dibilang “terlalu rapi, pasti AI”, mungkin kamu hanya sedang diuji oleh zaman yang sedang bingung sendiri. Jangan berhenti. Teruslah menulis. Sebab seperti kata Shofi, “Selama manusia masih bisa merenung dan bermimpi, tulisan manusia tidak akan tergantikan.” Dan saya percaya, kita sedang menulis bukan hanya untuk didengar, tapi untuk jadi bagian dari sejarah perubahan itu sendiri.

(Yohanes Capelliou Samudra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *