http://gajayanatvnews.com – Sekarang hampir semua orang kalau ditanya, “nonton apa?” jawabannya bukan lagi TV. Ada yang bilang YouTube, Netflix, Disney+, atau malah TikTok. Rasanya TV makin tersisih, apalagi di mata anak muda.
Tapi buat saya, yang sudah sejak 2008 hidup di dunia broadcast, televisi itu belum selesai. Saya dulu mulai karir dari reporter lapangan, pembaca berita hingga Kabiro program news “Kabar Ngalam” di Surabaya dan balik lagi ke Kota asal Malang sebagai Produser di Gajayana TV sampai sekarang. Jujur, saya masih betah. Alasannya sederhana: di TV saya bisa menulis, bicara, dan berkreasi.
Ada kebahagiaan tersendiri melihat ide yang tadinya cuma coretan di kertas akhirnya jadi tayangan nyata. Buat saya yang sudah terlanjur cinta pada proses dan karya, televisi tidak boleh mati, justru layar televisi harus makin berwarna dengan kreatifitas.
Masalahnya, memang benar TV sekarang punya banyak saingan. Tapi menurut saya, ini bukan berarti tamat. Justru jadi alarm buat berbenah. Televisi punya modal besar yang jarang dimiliki platform digital: kedekatan dengan masyarakat. Apalagi TV lokal, yang bisa mengangkat cerita kampung, tokoh daerah, sampai isu yang dekat sekali dengan keseharian.
Dr. Andi Prasetyo, pakar media dari Universitas Airlangga, pernah bilang: “Televisi jangan menganggap digital itu musuh. Kalau pintar berkolaborasi, kontennya bisa jauh lebih luas jangkauannya.”
Saya sepakat. TV bisa banget jalan bareng kreator digital. Misalnya bikin program bareng komunitas lokal, lalu potongan acaranya tayang di Instagram atau YouTube. Efeknya? Nggak cuma penontonnya nambah, tapi juga makin relevan di mata generasi baru.
Rani Kusuma, konsultan media independen, juga pernah mengingatkan: “Kalau TV lokal cerdas, mereka bisa jadi jembatan antara komunitas dengan dunia digital.”
Jadi, buat saya masa depan televisi bukan soal kalah atau menang lawan platform baru. Tapi soal berani berubah atau tetap keras kepala. Televisi harus luwes, mau buka pintu kerja sama, dan nggak takut mencoba hal baru.
Karena pada akhirnya, cerita selalu dicari orang. Dan televisi, kalau mau, tetap bisa jadi panggung yang hangat untuk bercerita.
Ditulis oleh : Gisella Tahapary