http://gajayanatvnews.com – Merebaknya gelar-gelar profesor doktor yang mentereng, membuat saya tercekat. Tercekat, oleh karena pemilik gelar-gelar tersebut ternyata sebagian besar kurang mumpuni alias tak berkualitas. Mereka kikuk saat berhadapan dengan kemungkinan dan ketidakpastian. Ada semacam kekurangan mendasar dalam hal ihwal berpikir kritis, kreatif, dan clairvoyance (menilik peristiwa masa depan). Ketiga kemampuan berpikir tersebut terkadang tak kunjung mereka kuasai. Karena multi peran yang menghinggapi para profesor doktor sekaligus rektor, administrator, dan juga merangkap sebagai distributor.
Hasrat menjadi orang pintar dengan terburu-buru ingin diraih. Hal ini kemudian menjadi relasi mutualis antara para pemburu gelar dengan dengan agen-agen marketing universitas menjajakan kemudahan untuk menempuh studi doktor. Tawaran-tawaran dijanjikan seperti: beragam fasilitas nyaman, peningkatan karier dan finansial, prestise, hingga jaminan lulus tepat waktu, bahkan mendapatkan ijazah whoosh wash whoosh.
Bagaimana dengan peraih gelar profesor? Persis hampir sama. Tim-tim percepatan dibentuk, dipoles, diberi SK, ditunjang-tunjing dengan kucuran anggaran, dan kasak-kusuk publikasi terjun bebas ke dalam sumur dasar tanpa nalar. Amburadul. Yang mendapatkan gelar dengan jalan instan seperti ini persis yang saya sebut profesor doktor pasar loak. Mereka adalah “subjek-subjek kosong” nir-etis. Suatu yang sulit dibedakan oleh mereka: gelar profesor doktor tidak sama dengan kualitas pikiran yang menancap dan meretakkan cangkang ontologi, serta membongkar kepalsuan demi kepalsuan dengan sorotan epistemis penuh curiga.
Fenomena ini, bagi saya, kalau boleh disebut adalah “profesor doktor pasar loak”. Terminologi yang terakhir ini, argumentasinya: (1) gelar-gelar tersebut tergerus nilainya, karena adanya kesulitan untuk menemukan keaslian dari insan-insan akademik dengan pemikiran yang unik/khas, otonom, kreatif, dengan derajat keaslian yang menggairahkan secara intelektual; (2) raihan gelar-gelar kehormatan tersebut dicapai dengan amat pragmatis dengan menjangkarkan pada tindak mimesis alias menjadi imitator.; (3) melimpah ruahnya gelar profesor doktor, asal bayar, dapat gelar, tak diimbangi dengan ketangguhan untuk berdebat dan menjadikan ruang publik menjadi lebih kompetitif dan akademis, yang ada hanya menjadi followers untuk meraih kekuasaan; (4) Profesor doktor saat menjabat, ibarat para pedagang di pasar loak, dengan penuh semangat berteriak menjajakan gelar dan keilmuannya. Para pejabat ditawari meraih doktor, kehadiran mereka diwakili justru oleh para asisten, dan babu-babu administrasi. Bahkan, konon ijazah bisa dijual di pasar loak.
Pasar Gelap
Dunia pasar loak, dalam sejarahnya, kerap kali menghadirkan sisi gelap dari manusia pada masa hidupnya. Namun, kelangkaan justru menjadi daya tarik yang khas bagi para pengunjungnya. Di Pasar Clingancort Paris atau Marché aux Puces de Saint-Ouen, misalnya, terdapat koleksi botol kaca berlapis emas dari tahun 1920-an, dilengkapi atomizer hitam dan emas dari Marcel Franck, serta beberapa botol apotek antik dari Roger & Gallet. Barang tersebut amat jarang dijumpai, dan harganya pun tidak murah. Di sini, kelangkaan sebuah botol menjadi unik.
Selain itu, nostalgia menjadi daya tarik yang menjadi pesona psikologis. Ketika melihat kursi peninggalan Louis XV, ingatan para pengunjung ditarik pada abad ke-18, yang ditandai oleh bentuk lengkung, ringan, nyaman dan asimetris khas perabot Neoklasik. Saat menatap kursi tersebut, kita terngiang pada situasi gelap Perancis yang ditandai oleh peristiwa kontras nan mencolok antara kemewahan budaya dan krisis ekonomi serta politik yang semakin dalam, yang pada akhirnya menjadi salah satu pemicu utama Revolusi Perancis.
Kursi Louis XV menjadi nostalgia untuk merasakan keaslian peristiwa yang hadir dalam bentuk barang. Oleh karena itu, di pasar loak tersebut, tertulis, “tidak ada yang palsu”, yang seakan memberi jaminan bahwa barang-barang tersebut antik, unik, dan orisinal. Namun, perlu cermat, bahwa hanya ada dua distrik di pasar loak yang dikhususkan untuk mengonfirmasi kualitas pesan tersebut, yaitu L’Usine dan Lecuyer.
Pasar-pasar loak seperti: Pramuka Pojok, Klithikan Sentir, Slompretan Gilingan, dan Comboran, sebagai menjadi jurang yang amat berbeda dengan di Paris. Barang-barang bekas amat banyak dan amat jarang memiliki unsur kelangkaan dan nostalgia. Hal yang kerap dicurigai, barang-barang yang dijajakan diduga adalah hasil curian. Yang penting barang bisa dijual dan bisa mendapatkan untung, itulah yang terjadi di pasar loak. Ada ketidakpercayaan pada barang-barang bekas di Indonesia, karena adanya duplikasi, reduplikasi dan imitasi. Singkatnya, kepalsuan begitu jamak dalam dunia perloakan.
Kelangkaan dan nostalgia menjadi dua kualitas yang hilang dalam dunia akademik di Indonesia. Kelangkaan yang saya maksud lebih pada jangkar pemikiran genial, yang ada para pemilik gelar profesor doktor. Mereka idealnya memiliki kualitas pemikiran yang berjangkar pada dasar pemikiran yang filosofi dimana saat negara ini dibentuk, ada harapan agar warga negara cerdas dan sejahtera. Harapan tersebut tertulis dalam konsep pemikiran, tapi mandul dalam praktek kebijakan.
Di awal-awal kemerdekaan RI, kita memiliki nostalia pada para pemikir genial seperti Moh. Hatta, Sutomo, Soekarno, Radjiman Wedyodiningrat, Maria Ulfah Santoso, Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito, dan sebagainya. Pikiran-pikiran mereka digembleng oleh situasi ketertindasan oleh karena situasi kolonial. Dalam situasi itu, nalar mereka merekah dalam orisinalitas, yaitu keluar dari ketertindasan, memulai dengan bersatu dalam pertemuan-pertemuan dimana pikiran dan tindakan saling bertukar satu sama lain. Nalar terbuka bukan hanya dalam ruang, dan tembok kaku, tetapi setiap ide dicurahkan untuk tiba tindakan yaitu kemerdekaan.
Situasi saat ini, terbalik. Para doktor yang lulus, justru hadir tidak dengan nalar yang cerah, dan kualitas pikiran dan tindakan yang genial. Saat presentasi, seorang doktor hanya fokus pada setiap slide, tanpa ada kemampuan retorika, dan dis–engage dengan peserta. Yang hadir justru doktor-doktor hasil pabrik yang diajar secara instan melalui media-media pembelajaran daring, tanpa ikatan dan relasi diskursif yang kuat antara dosen dan mahasiswa. Menjadi doktor karena tidak ada bekal nalar yang kuat, kemudian tidak percaya diri. Lalu, sibuk kuliah lagi, untuk menambah koleksi sederet gelar yang seakan membanggakan tapi kosong. Yang paling meresahkan adalah jebakan-jebakan logika buatan yang direpresentasikan oleh Chatgpt, Gemini, DeepSeek dengan hanya mengandalkan kemampuan teknis dengan meminta melalui prompt. Pesimisme yang terjadi, akhirnya siapa saja bisa menjadi doktor [?]
Unsur nostalgis, yang kemudian menjadi pertanyaan, seperti apakah kualitas yang melekat pada corpus nalar dan etos profesor doktor? Saya pikir, kualitas profesor doktor di Indonesia, sebagian besar terjerumus dalam situasi pasar loak nan gelap. Mereka sibuk menjajakan kemampuan mengajar yang ala kadarnya, mengajar sks yang begitu banyak dan bahkan tidak masuk akal. Kemampuan liniaritas yang amat pakem pada satu keilmuan. Begitu juga, riset-riset yang ada didasarkan pada bahan penelitian mahasiswa sebagai mesin produksi dan reproduksi. AI juga menjadi tumpuan penelitian para profesor doktor untuk sekedar beralih teks melalui parafrase untuk kemudian didistribuskan di jurnal-jurnal yang konon bereputasi dengan bayaran mahal. Lalu, pengabdian kerap menjadi formalitas belaka yang ditandai dalam laporan yang kemudian menjadi artikel jurnal, dengan lampiran foto foto yang begitu frozen. Jalur pragmatis-instan sekan menjadi pilihan tanpa pilihan. Itu satu-satunya yang dipilih.
Subyek Kosong
Para profesor doktor hadir harapannya tidak jatuh pada pramatisme seperti di marche’ aux puces. Menjadi homo academicus perlu berada dalam distansiasi, menjaga jarak antara realitas banal dan kenyataan yang mengantarkan pada kebenaran. Orisinalitas perlu disituasikan dalam peristiwa-peristiwa refleksi seperti menjalani dengan serius masa sabatikal. Istilah ini lebih pada pemahaman bahwa ada periode cuti panjang dari pekerjaan atau studi, yang diambil untuk pertumbuhan pribadi, perjalanan, atau penelitian. Di masa tenang ini, para profesor doktor dilatih untuk menemukan dirinya, meyakini bahwa pikirannya benar-benar bisa menjangkau yang terbatas dan tidak terbatas secara bersamaan, menjadi otentik dengan selalu merasa ada keterhubungan antara buku, artikel riset, dirinya sebagai manusia, dan alam semesta.
Para profesor doktor dalam situasi menjadi homo academicus tidak lagi dibebani oleh administrasi menumpuk dan kemampuan teknis ala how to. Ya, memang kemampuan tersebut penting, namun kurang mendasar dan kerap menghasilkan profesor doktor pasar loak. Maka, perlu ada upaya untuk menggedor nalar mereka. Upaya tersebut didasarkan pada tradisi sejarah akademik, baik di Eropa dan Amerika, gelar S3 adalah Philosophy Doctor (PhD) yang hadir untuk menjangkarkan nalar pada doktor untuk tiba pada kemampuan mendalam, mampu menciptakan konsep-konsep baru, mensistesiskan yang peristiwa paradoksal. Mereka memiliki dasar-dasar pemikiran yang menjalar pada kemampuan kreatif seperti rhizome, logic of rhetoric, mampu berpikir dan bertindak secara kritis pada dirinya dan di luar dirinya, dan siap untuk berhadapan dengan situasi tertinggi dari pemikiran filosofis yaitu nalar yang terjerumus pada sumur tanpa dasar (void). Bila, kemampuan ini ada, maka kita tidak ragu para profesor doktor tidak jatuh pada “subjek-subjek kosong” nir-etis.
*Andri Fransiskus Gultom, Pendiri Institut Filsafat Pancasila






